Sejarah Umroh. Kendatipun umrah tidak masuk dalam lima rukun Islam sebagaimana haji, bukan berarti posisinya tidak penting. Bahkan, dua ibadah ini memiliki tempat yang sama-sama strategis, baik di hadapan Allah maupun dalam konstruk sosial. Terbukti, masyarakat Arab jahiliah pun telah mengenal dan mengultuskan keduanya. Mereka rajin menunaikan ibadah haji sebagai rutinitas tahunan mereka. Selain karena Ka’bah adalah kebanggaan masyarakat Arab, juga dalam rangka menapaktilasi jejak Baginda Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Hanya saja, akibat kejahiliahan mereka, banyak dari rangkaian pelaksanaan ibadah haji—termasuk juga umrah—yang berubah; baik dikurangi maupun ditambah, seperti tidak melakukan wukuf di Arafah, sai antara Shafa dan Marwah dan malah berani melakukan an-nasi’ (sikap tidak menghargai bulan-bulan haram (al-asyhurul hurum), sehingga sangat mudah bagi mereka berperang di bulan itu). Sampai akhirnya Islam pun datang dan memperbaiki semua itu hingga kembali seperti semula sebagaimana yang dilakukan di masa Nabi Ibrahim.
Hanya saja, akibat kejahiliahan mereka, banyak dari rangkaian pelaksanaan ibadah haji—termasuk juga umrah—yang berubah; baik dikurangi maupun ditambah, seperti tidak melakukan wukuf di Arafah, sai antara Shafa dan Marwah dan malah berani melakukan an-nasi’ (sikap tidak menghargai bulan-bulan haram (al-asyhurul hurum), sehingga sangat mudah bagi mereka berperang di bulan itu). Sampai akhirnya Islam pun datang dan memperbaiki semua itu hingga kembali seperti semula sebagaimana yang dilakukan di masa Nabi Ibrahim.
Baginda Nabi Muhammad sendiri, sebelum hijrah ke Madinah pernah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali seperti yang diwariskan leluhurnya, Ibrahim ‘alaihissalam. Dan, ia pun menutup dan mengunci tata cara pelaksanaan tersebut. Rasulullah rupanya tak sudi membebek laku kotor jahiliah yang telah mengubah banyak hal dari yang semestinya. Kisah ini juga menjadi dalil gerakan “kembali ke khitah” yang pernah terjadi dalam tubuh ormas besar Nahdlatul Ulama (NU). Alhasil, ibadah haji dan umrah sempat mengalami masa-masa kelam dalam catatan sejarahnya. Kisah singkat di atas disadur dari kitab al-Fikr as-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami (juz 1, hal. 189) karya Syekh Muhammad bin al-Hasan bin al-‘Arabi bin Muhammad al-Hajwi (w. 1376 H).
Semoga kisah kelam ini tidak terjadi lagi untuk yang kedua kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar