Niat Badal Haji, Menunaikan ibadah Haji menjadi keinginan setiap umat Islam. Karena haji merupakan bagian daru rukun Islam, sehingga melaksanakannya bisa menyempurnakan ibadah bagi seorang muslim.
Haji sebenarnya bukan ibadah yang diwajibkan bagi semua umat Islam. Tapi diwajibkan bagi umat Islam yang mampu secara finansial dan fisik.
Sebenarnya seseorang yang memang tidak mampu secara fisik tapi ingin melaksankan ibadah Haji bisa menggunakan solusi badal haji. Badal Haji adalah ibadah Haji yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal atau tidak mampu berangkat karena kondisi fisik.
Badal haji bagi sebagian ulama seperti mazhab Syafi’i berlaku dan sah menurut syariat. Sebuah hadits shahih menceritakan seorang perempuan dari Khats’am yang meminta izin pembadalan haji kepada Rasulullah SAW:
يا رسول الله إن فريضة الله على عباده فى الحج ادركت أبى شيخا كبيرا لا يثبت على الراحلة افأحج عنه؟ قال نعم (متفق عليه
Artinya, “’Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya?’ Rasulullah menjawab, ‘ya,’” (Muttafaq alaih).
Niat badal haji
نَوَيْتُ الحَجَّ عَنْ فُلَانٍ وَأَحْرَمْتُ بِهِ للهِ تَعَالَى
Nawaytul hajja ‘an fulān (sebut nama jamaah haji yang dibadalkan) wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā.
Artinya, “Aku menyengaja ibadah haji untuk si fulan (sebut nama jamaah yang dibadalkan) dan aku ihram haji karena Allah ta‘ala.”
Alternatif niat badal haji:
نَوَيْتُ الحَجَّ وَأَحْرَمْتُ بِهِ للهِ تَعَالَى عَنْ فُلَانٍ
Nawaytul hajja wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā ‘an fulān (sebut nama jamaah haji yang dibadalkan).
Artinya, “Aku menyengaja ibadah haji dan aku ihram haji karena Allah ta‘ala untuk si fulan (sebut nama jamaah yang dibadalkan).”
Niat badal haji ini dapat ditarik dari keterangan Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam karyanya Busyral Karim.
وإن حج أو اعتمر عن غيره قال نويت الحج أو العمرة عن فلان وأحرمت به لله تعالى ولو أخر لفظ عن فلان عن وأحرمت به لم يضر على المعتمد إن كان عازما عند نويت الحج مثلا أن يأتي به وإلا وقع للحاج نفسه
Artinya, “Jika seseorang melaksanakan ibadah haji atau umrah untuk membadalkan orang lain, maka ia mengatakan, ‘Nawaytul hajja awil ‘umrata ‘an fulān wa ahramtu bihī lillāi ta‘ālā.’ Tetapi jika ia meletakkan kata ‘‘an fulān’ setelah kata ‘wa ahramtu bihī,’ maka tidak masalah menurut pandangan muktamad dengan catatan ia merencanakan pelafalannya di akhir. Tetapi jika tidak bermaksud melafalkannya, maka ibadah haji atau umrah yang dia lakukan jatuh untuk dirinya, (bukan untuk jamaah yang dibadalkannya),” (Lihat Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin, Busyral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 1433-1434 H/2012 M], juz II, halaman 517).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar